TENTANG SENJA
Senja adalah sebuah
pembatas antara siang dan malam. Senja adalah pemisah, agar keduanya tidak
berjumpa. Senja, sebuah penanda berakhirnya cerita. Hadirnya seperti sebuah
kata pinta agar sang mentari segera menggelamkan dirinya. Membuat cahaya
mentari itu meredup dan membiarkan awan menjadi penguasa sang langit.
Senja adalah satu
dari titah-Nya, tak ada satupun yang dapat menolaknya. Bahkan senja itu sendiri
pun harus menerima. Hadirnya bagai pengundang sang pelukis dunia yang namanya
tersohor dimana-mana, yang mampu melukis warna sang langit berwarna jingga.
Hingga setiap mata yang melihatnya pasti begitu terpesona.
1. Aku pernah
membenci senja, karena setelahnya hanya akan ada kegelapan dimana-mana.
Senja itu menjemput malam, dimana
hanya ada gelap dan sunyi.
Dan aku membenci itu.
Jika disuruh memilih fajar atau
senja, tentu aku akan memilih fajar. Kau tahu alasanku memilihnya? Fajar itu
menjemput sang mentari. Dengan anggunnya sang mentari terbit dan menghangatkan
langit. Menyinari sisa embun di pagi, mengisyaratkan pada seluruh isi semesta
untuk segera memulai cerita. Tentu, semuanya terang, bercahaya dimana-mana,
bahkan sekecil apapun celah dari ranting pohon yang saling menyilang akan tetap
mendapat bias cahaya.
Terbitnya sang mentari, pertanda
dimulainya sebuah hari yang baru. Segala canda tawa ceria anak manusia tak akan
dapat tersembunyi di sana. Indah bukan?
Dan senja? Bukannya aku benci.
Aku sedikit enggan memang dengan hadirnya. Mengisyaratkan berakhirnya sebuah
cerita, menyisakan sunyi. Tidak ada cahaya yang begitu terang yang mampu
menyinari bumi, hanya kelip lampu kecil yang seakan tak berarti. Tetap saja
kegelapan pemenangnya, hawa dingin dan rasa sepi selalu hadir menemani.
Menakutkan, mengharuskan cerita apapun harus tersimpan. Entah cinta atau luka,
atau bisa jadi kenangan. Dan membiarkanya menjadi penghantar tidur atau pengisi
sebuah mimpi. Hingga datang lagi yang ku tunggu, fajar yang menjemput terbitnya
mentari esok hari.
2. Senja
menyadarkanku, bahwa terang itu tak selalu menemani
Katakanlah,
aku terlalu terlena.
Kamu adalah
langitku. Langit yang selalu meneduhkanku, menemaniku kapanpun dan dimanapun
aku berada. Langit biru yang selalu bisa menenangkan hatiku. Begitu seterusnya
kamu jika cahaya selalu menerangi, akan selalu dapat kunikmati indahmu.
Namun hari tak
selamanya siang. Aku terlalu nyaman hingga aku lupa jika malampun akan datang.
Senjalah yang menjadi penanda.
Katakan saja akulah
mentari itu, yang jatuh cinta padamu hai langit. Seperti titah Tuhan, ada
mentari, ada pula sang rembulan. Aku melupakan kehadirannya yang meminta senja
menjemputku. Ya, aku harus menenggelamkan diri agar sang rembulan dapat memikat
sang langit, menunjukkan cahaya indahnya, rupa cantiknya, yang hadirnya selalu
diiringi kelip bintang-bintang angkasa.
Seperti itulah aku
dan kamu, aku yang terlena dan terlalu nyaman akan hadirmu yang sekian lama
menemaniku. Aku memang tak lagi peduli pada apa-apa yang menggodaku. Tapi aku
terlalu dangkal untuk mengerti, bahwa banyak pula yang menggodamu, menginginkan
hadirmu. Dan kau peduli pada itu. Saat itulah kamu memilih pergi, seperti
langit yang memilih rembulan daripada sang mentari.
3. Senja mengajariku
menghargai rasa sunyi
Sekali lagi, senja
adalah akhir dari sebuah hari, membuat apa-apa yang telah terjadi menjadi
sebuah rangkaian cerita yang terususun rapi. Seperti puzzle yang harus
dirangkai agar terbentuk rupa yang dapat dikenali, kisah-kisah dihari itu yang
akan menjadi kenangan dikemudian hari.
Senja yang
setelahnya tentu sang malam akan tiba. Sang langit tak lagi peduli pada mentari
yang telah pergi, sebab ia hanya peduli pada perjumpaannya dengan sang
rembulan. Walau begitu, senja tak pernah marah, ia hanya sunyi. Menyembunyikan
segala ceritanya sendiri, etah bahagia atau luka.
Ya, dari senja itu
aku belajar menghargai rasa sunyi dan sepi. Tidak selalu aku akan bersama orang
yang kupilih. Tidak selalu orang yang kupilih juga memilihku. Terkadang Tuhan
membuat apa-apa yang begitu kita sayang pergi, bukan karena Tuhan tak peduli.
Bukan. Tuhan bahkan lebih peduli melebihi diri kita sendiri.
Pun dengan saat
ini, Tuhan menghadiahkan kesendirian untukku, memberikan sebuah rasa sunyi agar
aku menjenguk diri sendiri. Agar aku peduli dengan diri sendiri. Aku mungkin
tak sadar, aku telah terlampau mengacuhkan diri sendiri karena sibuk
membahagiakan orang lain, terlalu sibuk mengkhawatirkan orang lain. Orang lain
yang tidak lain adalah kamu. Dan sekarang, aku berhentikan menyibukkan diri
untukmu. Aku hanya akan peduli dengan diriku sendiri.
4. Dan senja
membuatku mengerti arti sebuah kata “rela”
Seperti saat menemukan,
kehilangan juga terjadi
tanpa sebuah kata permisi
Bagaimanakah
definisi yang tepat untuk senja? Mentari yang meninggalkan sang langit ataulah
sang langit yang meninggalkannya demi sang rembulan? Mungkin yang tepat adalah
bulanlah yang memisahkan mereka. Atau justru tidak pula semuanya? Semua hanya
menjalankan titah-Nya tanpa penolakan dan tanpa negosiasi.
Mentari bahkan
selalu kembali esok hari setelah kemarin menenggelamkan diri, seperti selalu
bersedia memaafkan meski berulang kali terlukai.
Senja membuatku
paham makna dari kata “rela”. Bahwa apa yang ada bersama dengan kita, tak mesti
selamanya. Semua ada masanya. Tanpa kita duga, tanpa kita pinta, masa itu akan
tiba dan tidaklah sedikitpun kita dapat menolaknya. Siap ataupun tidak, kita
tidak bisa mengaturnya seperti yang kita harapkan.
Seperti saat sebuah
cinta membuat detak jantungmu berdesir, begitupun ketika kecewa menyeruak
dihatimu, membuat sayatan yang begitu pedih. Saat dihadapkan pada pertemuan,
bisa jadi saat itu pula kita harus bersiap untuk kehilangan. Terkadang apa yang
begitu kita jaga dan kita cintai adalah takdir orang lain. Dan senja membuatku
paham apa itu rela. Dia yang selalu bersedia kembali meski terusir ribuan kali,
ia menerima. Ia merelakan sang langit bersenandung dengan sang rembulan
Jika kelak kamu
adalah takdirku, kamu pasti akan dikembalikan padaku dengan cara yang begitu
istimewa. Jika tidak, disinilah aku belajar melepaskanmu, menenggelamkan segala
angan dan harapanku atas kamu.
5. Jangan bertanya
kapan aku jatuh cinta pada senja, sebab kaulah yang paling tahu jawabnya
“Aku mencarimu, dan ternyata kamu di sini. Menunggu
matahari menggelincirkan dirinya? Hm?? Aneh”
“Jika kamu kesini hanya untuk
memaki, lebih baik kamu pergi. Bukankah kamu memang suka meninggalkanku pergi?”
“Maaf, aku merindukanmu. Tapi, ada
apa denganmu? Dan sejak kapan kamu menyukai senja? Aku tahu kamu, sejak dulu
kamu tidak menyukainya”
Haruskah aku menjawab pertanyaan
konyol itu? Kurasa tidak perlu. Untuk apa kau tanyakan padaku sejak kapan aku
jatuh cinta pada senja kalau kamulah yang paling tahu jawabannya. Ya kamulah
jawabannya, KAMU.
Sejak kamu meninggalkanku pergi
tanpa sebuah kata permisi, sejak kamu hadirkan dia dalam hatimu sebagai
penggantiku yang bahkan masih menjaga ketulusan yang kuperuntukkan hanya
padamu. Sejak kamu tidak lagi menganggapku berarti.
Sebab setelah kamu memilihnya,
senjalah yang setia menemaniku. Cukuplah dia menasehatiku dengan bahasanya
sendiri, dan biarkan aku memahaminya dengan caraku sendiri. Biarlah aku
menguatkan hatiku yang telah menjadi perca ini. Jangan kau buat aku sendu oleh
kata rindumu. Bukankah kamu adalah langit yang meminta sang mentari pergi agar
bisa bersama dengan sang rembulan? Dan lihatlah, mentari ini selalu menuruti
apa maumu, demi kebahagiaanmu. Biar ku simpan rasa dan rinduku sendiri dan
peruntukkanlah cinta juga rindumu itu kepada wanita barumu. Yang demi dia kamu
mengganggapku tiada.
Bahagialah dengan apa yang kamu
pilih, jangan lagi usik hatiku. Dan biarkan aku membahagiakan diriku dengan
caraku sendiri. Aku tahu kata rindumu itu bukanlah berarti kamu ingin kembali.
Atau lebih tepatnya, kamu rindu menyakitiku lagi? Terserahlah, aku tidak akan
membalas setiap rasa sakit yang dari belatimu itu. Aku pun tidak akan berdoa
agar karma segera menimpamu. Tidak, aku hanya punya cinta yang hanya bisa
mendoakan kebahagiaanmu, bukan melukaimu. Cukuplah aku serahkan segalanya pada
Tuhan Yang Maha Tahu. Sebetapa banyaknya luka yang kamu beri, aku tetap
berterimakasih pada Tuhan yang mengizinkan kita untuk pernah saling memiliki.